TEORI KOMUNIKASI MASSA KLASIK DAN TEORI KRITIS

Teori Peluru atau Teori Jarum

Teori peluru merupakan konsep awal efek dari komunikasi massa. Media berperan secara langsung dan cepat. Teori ini dikemukakan oleh Wilbur Schramm pada tahun 1950-an. Pada awalnya teori ini ditampilkan setelah penyiaran kaleidoskop stasiun radio CBS di Amerika yang berjudul The Invasion from Mars.

Teori ini mengasumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat besar dan perkasa, sehingga komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Seorang komunikastor dapat menambahkan peluru komunikasi yang dapat mempengaruhi khalayak yang tidak berdaya. Teori ini dapat dikatakan sebagai komunikasi satu tahap, karena pesan yang disampaikan melalui media massa langsung ditunjukan kepada komunikasn tanpa melalui perantara.

Teori Kultivasi

http:/Contoh-efek-teori-kultivasi/tukangteori.com/2015/03/penjelasan-tentang-teori-kultivasi-media-massa-televisi.html

George Gebner berusaha untuk menjelaskan bagaimana efek dari media komunikasi. Kemunculan teori ini bertujuan untuk memaparkan efek media yang bersifat individu dan untuk meyakinkan khalayak tentang efek-efek tersebut. Menurut teori ini, media televisi merupakan media yang paling tepat untuk mempelajari kultur di lingkungannya.

Teori ini menganalisis tayangan televisi yang sehari-hari kita tonton. Teori ini memprediksi, menjelaskan pembentukan presepsi, pemahaman, dan keyakinan jangka panjang sebagai hasil dari mengkonsumsi isi dari media.

media

https://raditya20.wordpress.com/2014/11/22/pengaruh-media-terhadap-masyarakat/

Terdapat tiga asumsi teori kultivasi yaitu

  1. Secara Esensial dan Fundamental televisi berbeda dengan media lain. Maksudnya adalah, televisi merupakan media yang unik, media ini menyajikan informasi secara audio dan visual segingga memudahkan audiencenya untuk memahami informasi tersebut.
  2. Televisi membentuk cara berpikir dan berhubungan. Televisi membangun cara bagi manusia dalam berpikir sehingga mempengaruhi bagaimana orang tersebut dalam berhubungan dengan orang lain. Di sini juga, mengungkapkan bahwa manusia tidak selalu menerima mentah-mentah tayangan yang terpapar melainkan memikiekannya dahulu lalu bertindak.
  3. Televisi hanya memberi sedikit dampak. Maksudnya dampak dari televisi ini memili batas atau terbatas. Bagaimana bisa? Televisi hanya memberi dampak tunggal yang terjadi tidak secara langsung pada saat itu juga melainkan menunggu waktu yang tepat untuk dampak twrsebut terjadi.

Uses and Gratifications Model

Model ini tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini mencoba menjelaskan bagaimana audience memilih media yang mereka inginkan. Pada model ini, audience bersifat aktif memilih dalam menkonsumsi media yang dibutuhkan. Studi ini memusatkan perhatian pada penggunaan, media untuk mendapatkan kepuasan, dan atas pemenuhan berbagai kebutuhan seperti:

  • Cognition/kognitif: bertindak untuk mengetahui sesuatu yang berkaitan dengan pengetahuan
  • Diversion/pengalihan: media digunakan untuk membawa perhatian kita ke tempat yang lain
  • Social Utility: berhubungan dengan linkage membangun kontak dengan orang lain, keluarga, teman
  • Affiliation: memenuhi keinginan rasa ingin memiliki atau keterlibatan dalam suatu kelompok
  • Expression: kebutuhan untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan opini
  • Withdrawal: menggunakan media untuk menciptakan batasan antara individu dengan individu lainnya karena tidak ingin diganggu ataupun sedang ingin menyendiri.

Katz, Blumler & Gurevitch membagi asumsi ini:

  1. Khalayak aktif dan penggunaan medianya berorientasi pada tujuan.
  2. Khalayak secara bebas menyeleksi media dan program-programnya yang bisa mereka gunakan untuk memuaskan kebutuhannya.
  3. Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan kebutuhan.
  4. Mempunyai cukup kesadaran diri akan penggunaan media, minat, dan motif sehingga dapat memberikan sebuah gambaran yang akurat mengenai kegunaan tersebut
  5. Penilaian mengenai nilai isi media hanya dapat dinilai oleh khalayak itu sendiri

Penelitian yang menggunakan Uses and gratifications model memusatkan perhatian pada kegunaan isi media untuk memperoleh gratifikasi atau pemenuhan kebutuhan.

McQuali (1995) mengatakan ada dua hal utama yang mendorong munculnya pendekatan penggunaan ini :

  1. Posisi terhadap pandangan deterministis tentang efek media. Sikap ini merupakan bagian dari “penemuan kembali manusia” yang terutama terjadi pada sosiolog di Amerika.
  2. Ada keinginan untuk lepas dari debat yang berkepanjangan tentang selera media massa.

Dari pengalamannya, individu ini berharap bahwa konsumsi atau penggunaan media massa tentu akan memenuhi sebagian kebutuhannya itu. Dalam beberapa kasus, kegiatan ini menghasilkan gratifikasi kebutuhan, tetapi dapat pula menimbulkan kebergantungan dan perubahan kebiasaan pada individu itu.

Silet

http://www.peoplehope.com/content/images/post/Image/rcti/Silet.jpg

Contohnya adalah acara gosip atau infotainment , kami ambil kebutuhan pengalihan penonton salah satunya dengan menonton acara infotainment Silet yang sebagian besar disukai oleh wanita. Para kaum wanita lebih ingin menonton atau mencari kepuasan dengan gosip terupdate melalui tayangan Silet ketimbang acara lain yang mengikuti Silet. Selain itu gosip yang diangkat adalah gosip hangat dan up to date sehingga acara tersebut membuat penonton terhibur dan puas. Dari contoh tersebut kita bisa lihat kebutuhan masyarakat dalam mengkonsumsi media menurut teori uses and gratification.

Teori Agenda Setting

Agenda setting adalah upaya media untuk membuat pemberitaannya tidak semata-mata menjadi saluran isu dan peristiwa. Ada strategi, ada kerangka yang dimainkan media sehingga pemberitaan mempunyai nilai lebih terhadap persoalan yang muncul. Ruang publik digunakan sebagai arena untuk mempermainkan peristiwa yang dielu-elukan ‘penting dan serius’.

media

http://www.qureta.com/post/peran-media-dan-masyarakat-dalam-isu-keberagaman

Teori Agenda Setting adalah teori yang menyatakan bahwa media massa merupakan pusat penentuan kebenaran dengan kemampuan media massa untuk mentransfer dua elemen yaitu kesadaran dan informasi ke dalam agenda publik dengan mengarahkan kesadaran publik serta perhatiannya kepada isu-isu yang dianggap penting oleh media massa.

Dua asumsi dasar yang paling mendasari penelitian tentang agenda setting adalah:

  1. Masyarakat pers dan mass media tidak mencerminkan kenyataan; mereka menyaring dan membentuk isu untuk mengikuti kebiasaan yang terjadi dan survive dalam dunia ekonomi.
  2. Konsentrasi media massa hanya pada beberapa masalah masyarakat untuk ditayangkan sebagai isu-isu yang lebih penting daripada isu-isu lain. Ada maksud menyatakan konsep dari medium is the message atau untuk memanipulasi konten sesuai citra dari media itu sendiri.

Literasi-Media-300x300

http://kanetindonesia.com/2015/03/22/literasi-media-media-menggoreng-isu-isis-siapa-diuntungkan/

Teori Agenda Setting pertama kali dikemukakan oleh Walter Lippman (1965)

1101370927_400

http://content.time.com/time/covers/0,16641,19370927,00.html

Pada konsep “The World Outside and The Picture in Our Head” yang sebelumnya telah menjadi bahan pertimbangan oleh Bernard Cohen (1963) dalam konsep “The mass media may not be successful in telling us what to think, but they are stunningly successful in telling us what to think about“. Apa yang terjadi di realitas sosial berbeda dengan apa yang media beritakan, demi mewujudkan pandangan masyarakat untuk terus keep in touch dengan berita tersebut. Didalam isu/ peristiwa yang diberitakan oleh media tersebut, masyarakat diberi perhatian yang secara terus-menerus mengikuti apa yang diinginkan media.

News doesn’t select itself. Berita tidak bisa memilih dirinya sendiri untuk menjadi berita. Artinya ada pihak-pihak tertentu yang menentukan mana yang menjadi berita dan mana yang bukan berita. Pihak tersebut disebut sebagai “gatekeepers.” Di dalamnya termasuk pemimpin redaksi, redaktur, editor, hingga jurnalis itu sendiri. Setelah tahun 1990-an, banyak penelitian yang menggunakan teori agenda-setting yang makin menegaskan kekuatan media massa dalam mempengaruhi benak khalayaknya. “gatekeepers” memiliki peranan sendiri tentang calon berita yang akan mereka beri kepada khaolayak sesuai dengan keinginan dari mereka sendiri.

http://dakwahkendari.com/tag/sekuler/page/2

Dengan menonjolkan suatu persoalan tertentu dan mengesampingkan yang lain, media membentuk citra atau gambaran dunia seperti yang disajikan dalam media massa. (Rakhmat, 1989:259-260), ini berarti media massa cukup berpengaruh terhadap apa yang dipikirkan orang dan mempengaruhi persepsi khalayak tentang yang dianggap penting.

Contoh Kasus:

http://infosiom.blogspot.co.id/2013/05/kasus-prita-mulyasari-vs-omni.html

Prita Mulyasari. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya, lalu dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Sampai akhirnya diadakannya aksi solidaritas Koin Peduli Prita dalam rangka membantu Prita dalam memperoleh uang untuk bayar denda kepada Rumah Sakit Omni Internasional sebesar Rp204.000.000,-. Alhasil sumbangan seluruh masyarakat dari seluruh Indonesia sebesar Rp825.728.550, Jumlah ini empat kali lipat melebihi denda yang harus dibayarkan Prita kepada Rumah Sakit Omni Internasional.

Pada kasus Prita, media messa terus mem-blow up kasusnya yang berdampak terbentuklah opini publik yang cenderung untuk memberinya dukungan.

Teori agenda setting memiliki tiga dimensi utama, berupa:

  1. Agenda media : Berpusat bagaimana media mengeksploitasi atau mengarahkan berita dan informasi secara terus menerus kepada massa. Berita yang diberikan kepada khalayak merupakan berita yang penting bagi mereka. Menjadikan media tersebut berita utama yang akan dibahas/ headline.
  • Framing proses seleksi dari berbagai realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih terlihat dari aspek lainnya. Framing dilakukan oleh media dengan menayangkan suatu berita terus menerus sehingga muncul agenda publik.

framing media

http://www.tukarcerita.com/2015/11/perang-hashtag-prayforparis-vs.html

  1. Agenda khalayak/publik : Berpusat pada informasi dan berita yang terus menerus diterima oleh publik (isu pusat pembicaraan publik), sehingga menimbulkan awareness tersendiri kepada publik.
  2. Agenda kebijakan : Bagaimana akhirnya berita dan informasi tersebut mempengaruhi kebijakan publik/ kebijakan pemerintah.

Contohnya : Marak kasus kekerasan pada anak dan perempuan, lalu kasus tersebut ditayangkan secara terus menerus di media dan berdampak terjadinya demo. Akhirnya, isu tentang kekerasan tadi dibuatkan suatu kebijakan yaitu dengan mengeluarkan Undang-Undang oleh DPR yaitu UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak serta Perppu nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 2 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

20child_abuse

http://www.pdskji.org/article_det-27-stop-kekerasan-pada-anak.html

Agenda setting sendiri baru menunjukan keampuhannya jika agenda media menjadi agenda publik. Lebih hebatnya lagi jika agenda publik menjadi agenda kebijakan. Bernard C. Cohen (1963) mengatakan bahwa pers mungkin tidak berhasil banyak pada saat menceritakan orang-orang yang berpikir, tetapi berhasil mengalihkan para pemirsa dalam berpikir tentang apa. Kita bisa memakai media apa saja untuk membangun opini, tapi jika tidak sejalan dengan selera publik, maka isu yang dibangun dengan instensitas sekuat apa pun belum tentu efektif. Akibat dari opini yang dibangun publik maka pemerintah turun tangan dalam memberikan kebijakan.

Teori Kritis

Teori kritis muncul setelah melihat realitas dengan mengansumsikan bahwa selalu ada struktur sosial yang tidak adil. Teori ini melihat bahwa media tidak lepas kepentingan, terutama para pemilik modal, kelompok atau negara. Media mampu menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat. Konsekuensinya, realitas yang dihasilkan media bersifat bias dan liar. Ada unsur kepentingan dari pemilik media tersebut untuk menonjolkan kepentingannya, jika dilihat dari bias yang terjadi di Indonesia, maka ada unsur ekonomi dan politik yang sering ditonkolkan dalam media itu. Berarti dominasi dari media tersebut masih mengemudikan masyarakat ke tujuan yang diinginkan media tersebut.

Lalu bagaimana cara mengatasinya? Sebagai generasi penerus bangsa, kita sudah seharusnya memerhatikan secara mendalam tentang peristiwa yang diberitakan media sesuai dengan kacamata realitas yang sebenarnya.

Teori kritis berusaha melakukan eksplanasi namun dalam pengertian lain. Yaitu eksplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu dan tidak benar. Tujuannya adalah untuk pencerahan, emansipasi manusia agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi. Secara umum, teori ini menyadarkan kita untuk menjadi pelaku sosial tersebut, dalam arti kata tidak ‘mendewakan’ apa yang dikatakan media. Efeknya yang akan terlihat, sebagaimana seharusnya ruang publik adalah hak masyarakat, bukan kewajiban media merenovasi ruang publik yang dimiliki masyarakat tersebut. Gunanya untuk menjaga stabilitas media itu sendiri dalam menjalankan prakteknya.

 

 

 

 

 

Leave a comment

Website Powered by WordPress.com.

Up ↑